Selasa, 28 Juni 2011

Hanya Cerpen

Dua orang sahabat yang sama namun berbeda. Sama dalam mendapatkan beberapa masalah namun berbeda dalam menyikapi suatu masalah.
Hari itu, telpon berdering dikamar seorang gadis bernama Cahaya. Telpon dari Santi yang membawa suatu kabar bahwa saudara seperjuangannya Vivi dan Indra digosipkan sedang di ta’arufkan. Kabar gembira ini ternyata tidak disambut gembira oleh Cahaya. Karena sebenarnya Cahaya telah memendam rasa suka kepada Indra selama beberapa tahun belakangan ini. Sebuah kisah wajar dari seorang insan yang dianugrahi fitrah. Sehari semalam hati Cahaya dirundung rasa patah hati, air matanya mengalir, dan meratap. Menyalahkan takdir, menyalahkan cinta, menyalahkan jama’ah, menyalahkan orang-orang yang merestui pernikahan itu. maka hasilnya, hatinya sakit (menurut Imam Ghazali). Masalah inipun ia keluhkan kepada sahabatnya. Dalam keluhanya, ia menghardik dan menyalahkan orang-orang yang menyakitinya. Dan Indah tersenyum manis, usulan yang diberikan dibantah tanpa kompromi. Hingga akhirnya Indah hanya mendengarkan tanpa komentar. Ia tahu sahabatnya itu, sedang tidak ingin di beri saran.
Dalam hati Cahaya tersmpan rasa kesal, kesal yang menggumpal hingga menyakiti hatinya. Tak main-main, ia pun kesal terhadap Indah yang seolah tidak merespon deritanya. Dalam hatinya, jika kau merasakan hal serupa pasti tidak akan sanggup. Padahal ia tahu bahwa Indahpun sedang memendam rasa dengan Akh Nanang.
Sebulan berlalu. Ta’aruf yang terjadi ternyata gagal karena faktor keluarga. Namun tak disangka, Vivi justru di ta’arufkan dengan Nanang. Prosesnya pun lancar tanpa hambatan. Dengan segera Cahaya mengabarkan ini kepada Indah. Ia berharap, Indah akan menangis dan merasakan hal yang sama. Ia menatap wajah Indah, ia pucat. Dalam hatinya, ternyata seperti itulah rasanya.
Namun kepuasan itu tak berlangsung lama. Wajah pucat itu tersenyum lebar tanpa beban, seolah telah tersngkir dari salah satu mara bahaya. Wajahnya pucat karena sedang sakit setelah mengurus salah satu agenda dakwah. Dan Indahpun berkata, “Saya sudah tahu. Bahkan saya tahu mereka telah dita’arufkan 20 hari yang lalu.” Wajah puas itu merekah kembali, “terus tanggapan kamu gimana?”
Dengan senyum, Indah menjawab, “Ya gak gimana-gimana. Awalnya emang kaget, tapi justru Rasa ‘Suka’ yang terpendam malah pudar.”
Dengan wajah melongo Cahaya bertanya, “kok bisa?”
karena Allah lebih aku cintai dari pada dia. Karena imanku terhadap takdir telah membalut semua luka dan mengobatinya dengan sebuah keyakinan yang indah. Semua ada jalannya. Bagus kalo dia menikah, hatiku telah lepas dari 1 belenggu setan dan kali ini akan aku jaga agar setan tidah kembali merusak hati ini. Jadi, pernikahan ini bagus untuk saya, ukhty vivi dan akh Nanang. Biarlah hati ini menjadi milik Allah. Dan dakwah ini karena Allah, tidak terkotori dengan hal-hal yang nista seperti itu.” jawabnya dengan lugas dan senyum. Itulah hati yang mencintai Rabbnya...

Senin, 13 Juni 2011

Hanya Untuk-Mu

kala cinta tlah mendua
kata hati meminta dengan penuh harap
biar saja ia bersama Rabbnya
tanpa pernah terdua

andai ada cinta mewarnai hati
biarlah cinta pada Rabbnya yang menjadi pena
melukis dengan liar apa yang ada
agar ia indah mempesona

Rabb... ampuni semua warna hati
yang tak Kau lukis dihati

biarlah hati menjadi kanvas
Yang Kau miliki tanpa ragu
dan Kau lukis tanpa semu

Kartasura, 29 Maret 2010

Minggu, 12 Juni 2011

KADO CINTA UNTUK SAHABATKU

Cinta... yah... sebuah kata yang sulit ditafsirkan maknanya... jantung berdenyut dengan kencang saat orang bercinta seperti seorang joki memacu kudanya dengan kecepatan tinggi... sekali lagi cinta... ia yang juga membuat Romeo meneguk racun yang telah diminum oleh Juliet sebelumnya semua karena cinta. Tapi lihatlah sebuah jendela dengan pemandangan terindah sepanjang masa. Jendela milik Rasulullah dan Khadijah yang menjadi kisah teromantis sepanjang masa. Dikamar dalam satu rumah, sorang laki-laki jujur yang luar biasa masuk rumah dengan nafas tersengal-sengal sambil berkata, ‘selimuti aku...’. seorang istri penuh perhatian dan khawatir menyelimutinya dengan penuh cinta, sekejep bingung dengan apa yang sedang telah terjadi pada suami tercintanya. Sekali lagi semua itu karena cinta. Cinta juga lah yang membuat seorag istri memberikan seluruh hartanya untuk perjuangan seorang suami, mendukungnya saat seluruh kaum Quraisy memboikotnya... yah... itulah cinta...
Dan dengarlah Salim A Fillah berkata tentang ‘cinta’. Ia berkata ‘cinta’ adalah sebuah kata kerja. Yah... KATA KERJA. Bukan kata sifat. Apalagi kata benda. Mengapa? Lihatlah seorang Umar yang sedang berbincang dengan Rasulullah dan mengungkapkan isi hatinya dengan penuh tulus dan ikhlas, ‘Ya Rasul... aku mencintaimu seperti mencintai diriku sendiri.’ Lalu Rasulullahpun menjawab, ‘tidak wahai Umar, kau harus mencintaiku melebihi cintamu kepada dirimu sendiri’ dan dengarlah jawaban Umar, ‘mulai sekarang aku mencintaimu lebih dari cintaku kepada diriku sendiri’. Benarkah sebegitu cepatnya seorang Umar membalikan hatinya? Memberikan sebagian porsi cinta kepada dirinya untuk Rasulullah. Tentu tidak kawan... itulah cinta menurut Salim A Fillah... cinta itu bukan sebuah rasa tapi ia adalah kata kerja. Jika orang mencintai maka ia akan memberikan kerja-kerjanya untuk orang, benda atau apapun itu untuk yag dicintainya. Seperti halnya Khodijah yang rela memberikan jiwa dan raganya dalam mendukung dakwah Rasulullah
Dan saksikanlah yang satu ini, disebuah rumah yang sederhana seseorang telah mengalami sakarotul mautnya... ia sakarotul maul di dalam dekapan istri tercinta yang memliki otak cerdas luar biasa yang bernama Aisyah. Dan dengarlah apa yang ia katakan dalam sakarotul mautnya... dengarlah dengan seksama... ucapan diakhir hayatnya... ‘ummati... ummati... ummati...’ dengarlah suara hatinya, ‘Ya Allah biarlah sakit seperti ini aku saja yang merasakan, dan jangan sampai umatku mengalaminya’ lagi-lagi sebuah cinta yang sangat dahsyat yang bermain hingga membuat kita umat yang mencintainya menangis walaupun tak pernah kita menemui sosoknya, MUHAMMAD SAW...
Itulah cinta. Cinta yang membuat Anis Matta menulis, ‘Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat.’ Sungguh luar biasa... dan itulah cinta... yang sekali lagi membuat kita bersatu disini, meniti jalan cinta para pejuang, menuliskan serial cinta dalam kerja-kerja dakwah kita... menjadikan diri kita menjadi seorang yang kuat seperti Umar bin Khattab seperti Khalid bin Walid atapu bahkan seperti Abdurrahman bin Auf... merekalah sebagian dari pedang-pedang Allah yang menebas kemungkaran di berbagai lini kehidupan... merekalah sang Murobi kita untuk menuliskan tinta-tinta emas dalam kerja dakwah ini. Dan masih adakah diantara kalian yang tidak lagi setia dengan cinta ini... cinta karena Allah... Cinta yang membawa kita dalam kemuliaan... sungguh... jika bukan karena dakwah mungkin kita tidak akan saling mencintai begitu dalam kawan... jika bukan karena Cinta Allah kita tidak menemukan jalan cinta bersama orang-orang yang saling bercinta untuk menemukan ujung yang penuh cinta... yaitu RIDLO ALLOH...